Nama : Rofif Syuja’ Mu’tasyim
Kelas
: 526
MK : Pengantar Sastra Modern
A.
Sinopsis Student Hidjo
Student Hidjo menceritakan tentang seorang
siswa pada zaman kolonial yang ingin melanjutkan pendidikannya ke Belanda
setelah lulus dari HBS. Hidjo, nama siswa tersebut, harus menghadapi dualisme
yang terjadi di dalam dirinya. Konflik muncul ketika Hidjo mulai berkenalan
dengan budaya Belanda, terutama wanita-wanitanya. Keadaan di Hindia dan di
Belanda sangat berbeda. Tujuan awalnya yang tadinya hendak menempuh pendidikan
tinggi pun menjadi goyah.
Novel yang menggambarkan
tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang
mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa
pergerakan terutama Serikat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang
sangat populer.
Kisah dimulai ketika ayah
Hidjo, Raden Potronojo, berencana menyekolahkan Hidjo ke Belanda. Raden
Potronojo berharap hal itu bisa mengangkat derajat keluarga, yang berasal dari
kalangan pedagang. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa
menyamai gaya hidup kaum priyayi murni garis keturunan, tidak lantas kesetaraan
status sosial diperoleh, khususya dimata orang-orang yang dekat dengan
gouvernement, pemerintah colonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden
Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat
“pergaulan bebas”.
Ketika bersekolah di Belanda,
mata hidjo terbuka melihat kenyataan yang tidak sesuai yang dengan ia
bayangkan. Di sana ternyata sama saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang yang
menjadi majikan, ada orang yang jonggos, ada yang jahat dan ada pula melihat
kenyataan yang tidak sesuai yang dengan ia bayangkan. Di sana ternyata sama
saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang yang menjadi majikan, ada orang yang
jonggos, ada yang jahat dan ada pula yang baik. Hidjo menikmati sedikit
“hiburan” ketika dirinya memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran,
atau di rumah yang ia tumpangi. Di mana, hal ini mustahil dilakukan di Hindia
Belanda.
Hidjo yang kutu buku terkenal
punya sikap yang “dingin” dan dapat julukan “pendito”, akhirnya pun terlibat
hubungan seksual di luar nikah dengan Betje putri sang pemilik rumah yang ia
tumpangi selama ia studi di Belanda.
Pertentangan batin karena
melakukan aib dan mendapat surat panggilan untuk pulang ke Tanah Jawa akhirnya
menguatkan Hidjo untuk pulang ke Jawa dan memutus tali cintanya pada Betje.
Persoalan semakin rumit ketika
perjodohan dengan Raden Ajeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun Hidjo
sesungguhnya terpikat oleh Raden Ajeng Woengoe, putri Regent Djarak yang sangat
cantik. Namun di akhir cerita perjodohan berubah Hidjo dijodohkan dan menikah
dengan Woengoe sedangkan Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki
Woengoe.
B.
Biografi Mas Marco Kartodikromo (1890-1932)
Mas Marco lahir sekitar tahun 1890 di Cepu,
sebuah desa di Jawa Tengah, tempat ayahnya menjabar sebagai kepala desa. Karena
bukan berasal dari keluarga bangsawan dan juga anak pejabat pemerintah kolonial
Belanda, Mas Marco hanya sebentar mengenyam pendidikan formal dan harus
mengambil kursus privat untuk belajar bahasa Belanda, namun menurt
teman-temannya, tidak pernah fasih menguasainya. Ia juga tidak dapat berbahasa
Inggris maupun Jerman, dan merupakan salah satu dari sedikit tokoh nasional
yang berasal dari keluarga orang kebanyakan. Mas Marco adalah seorang otodidak
dan oleh karena itu para wartawan serta tokoh politik kenalannya memiliki
pengaruh amat besar dalam pembentukkan wataknya, mulai dengan Raden Mas Tirto
Adhi Soerjo. Tokoh Ini, putra seorang priyayi dan sebaya dengan Mas Marco,
mendirikan harian Medan Prijaji di Bandung pada tahun 1907. Namun ia
lebih dikenal sebagai pendiri Serekat Dagang Islam cabang Batavia dan Bogor.
Tahun 1911, Mas Marco menumpang selama satu tahn di rumah Tirto Adhi Soerjo:
tokoh inilah yang mengajarinya profesi wartawan, dan mungkin sekali juga
menumpuk kecintaan akan kesusastraan serta memperkenalkan karya-karya Multatuli
kepadanya.
Karir Mas Marco selanjutnya adalah karir
seorang wartawan yang mengabdi pada suatu haluan politik. Sambil tinggal di
Batavia, Semarang, Solo atau Salatiga, yaitu kebanyakan di Jawa Tengah, ia
menjadi pembantu atau kepala redaksi di beberapa koran dan majalah. Yang
pertama adalah Doenia Bergerak, sebuah mingguan yang didirikan oleh Mas
Marco sendiri di Solo tahun 1914 sebagai media resmi dari Inlandsche
Journalisten Bond. Badan ini adalah organisasi wartawan Indonesia yang pertama
dan tampaknya didirikan atas inisiatif tiga orang tokoh utama: Mas Marco, R.
Sosrokoornio, dan Dr. Tjcipto Mangoenkoesomo. Setelah terjadi perselisihan
dengan percetakan dari gru Insulinde ( di bandung) mingguan ini bergabung
dengan harian Goentoer milik Darnakoesoema dan menjadi mingguan GoentoerBergerak
yang terbit di Semarang. Setelah delapan bulan, pecahlah perselisihan baru:
Tjipto mangoenkoesoemo mengambil alih kepengurusan Goentoer Bergerak dan
mengubahnya menjadi Modjo Pait, secara terbuka Mas Marco menyatakan
tidak ikut serta.
Mas Marco Kartodikromo adalah seorang wartawan
Jawa yang menulis sekitar sepuluh karya pada dasawarsa kedua abad ke-20.
Berasal dari kelarga sederhana, ia memulai karirnya sebagai wartawan pada usia
muda, dan sepanjang hidupnya berjuang sebagai anggota Sarekat Islam Merah di
Semarang, yaitu fraksi Komunis dari Sarekat Islam, sebuah partai politik yang
dalam waktu beberapa tahun saja berhasil menghimpun ratusan ribu kaum muslim di
bawah panji nasionalisme. Mas Marco
Kartodikromo beberapa kali dipenjarakan dan meninggal dalam pengasingan di
Papua.
Karir Mas Marco tidak sampai lima belas tahun lamanya. Ia menulis
sejumlah besar artikel dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa yang terbit dalam
sekitar sepuluh Koran, sedangkan karya sastranya tidak sampa sepuluh judul,
terdiri atas empat novel, satu lakon drama, satu kumpulan puisi dan tiga cerpen
yang diterbitkan atas nama aslinya atau kedua nama samara Soemantri dan
Synthema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar