Selasa, 14 Mei 2019

Makalah Campur Kode


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa merupakan wahana komunikasi yang sangat penting keberadaanya di tengah-tengah masyarakat. Tanpak adanya bahasa, maka tidak akan terjadi interaksi dalam kehidupan. Dalam proses komunkasi harus ada tiga komponen, yaitu (1) pihak berkomunikasi yakni penerima dan pengirim pesan yang lazim disebut partisipan, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat komunikasi yang digunakan dalam komunikasi, (Chaer dan Agustina, 2004: 17). Bahasa sebagai media komunikasi bersumber dari komunikasi pemakainnya, kemudian dipelihara dan dikembangkannya.
Di Indonesia, komunitas pemakai bahasa sangatlah banyak dan beraneka ragam karena teridiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, juga mampu menggunakan bahasa ibunya/bahasa kedua dengan baik. Selain itu, faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indoensia (Alwi, 2003:3).
Kemampuan menggunakan dua bahasa atau yang disebut blingual dapat mendorong pemakain bahasa yang berbeda secara bersamaan. Suatu keadaan berbahasa seperti ini, bilamana orang mencampur bahasa dua atau lebih tanpak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam hal demikian, hanya kesantain penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindakan bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nabban,1991:32).
Rumusan Masalah
1.      Jelaskan Konsep Campur Kode
2.      Wujud Campur Kode
3.      Menyebutkan Tipe Campur Kode
4.      Faktor Penyebab Campur Kode
Tujuan Penelitian
1.      Untuk dapat mengetahui konsep campur kode, wujud, tipe, serta faktor penyebab campur kode
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Campur Kode
Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.” Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu. Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
            Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan. Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina  (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan.  Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.
B.     Wujud Campur Kode
Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa. Contoh campur kode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar adalah ”Sekarang kita ulangan bahasa Indonesia, ulangan kita sekarang open book, jadi kalian boleh melihat buku catatan atau buku paket”. Open book adalah bahasa Inggris yang artinya sistem ujian yang boleh melihat buku catatan atau buku paket.
C.    Tipe Campur Kode
Campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.Contoh campur kode ke dalam (intern) dalam dialog sebagai berikut :(1)

“Nanti masnya matur dulu aja ke orangtua, kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000”.

Kata matur pada teks (1) adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannyadalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku didaerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode intern atau ke dalam.
Dikatakan campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasasasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis atau pun secara politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian, hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antarbahasa yang terlibat.Contoh campur kode ekstern dalam dialog berikut.
“Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomor-nomor telepon, pesan, kalender dan catatan”.
Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasatersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern
D.    Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

·         Faktor  Nonkebahasaan (atitudinal type)
1.      Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contohnya sebagai berikut:
 CS : ”Hpnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”
Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk dalam kategori hp selundupan.
2.      Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.
Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.
Falah         : “Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak tahu berapa banyak nomor-nomor penting di hp saya?”
CS : ”Maaf Bapak, diawal persetujuan service kemarin saya sudahkatakan bahwa kehilangan bukan menjadi tanggungjawab kami.Dan kemarin Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan diformrepairorder” ( sambil menunjukan bukti tandatangan)
3.      Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadifaktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.
CS : ” Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
CP :” Kan, saya tinggal disini kemarin, mbak”. 
CS:”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.

·         Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
1.      Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.Contohnya adalah pada dialog:
CS :    “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”
2.      Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Contohnya dalam dialogberikut:
CS :    “Untuk  speakernya Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”
3.      Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur.
Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank 
4.      End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.
 End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:
CS : “Maaf Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan dari tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti charger baru .”









BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa.
      Campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan.
B.     Saran
Saran penulis dalam makalahini adalah agar pembaca senantiasa memperbanyak membaca dan memperdalam lagi untuk mencari informasi lebih mengenai makalah ini. Karena dalam makalah ini masih banyak kekurangan dari segi penulisan.











DAFTAR PUSTAKA

Auzar dan Hermandra. 2007. Sosiolinguistik. Pekanbaru: Cendikia Insani.

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamusbesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chair, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Renika Cipta

Maulidini, Ratna. 2007. Campur kode sebagai strategi komunikasi Customer service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang ( Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Sumber Internet:
Asnawi, 2011. Campur Kode. (online).



Sinopsis Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo


Nama               : Rofif Syuja’ Mu’tasyim
Kelas               : 526
MK                  : Pengantar Sastra Modern

A.    Sinopsis Student Hidjo
Student Hidjo menceritakan tentang seorang siswa pada zaman kolonial yang ingin melanjutkan pendidikannya ke Belanda setelah lulus dari HBS. Hidjo, nama siswa tersebut, harus menghadapi dualisme yang terjadi di dalam dirinya. Konflik muncul ketika Hidjo mulai berkenalan dengan budaya Belanda, terutama wanita-wanitanya. Keadaan di Hindia dan di Belanda sangat berbeda. Tujuan awalnya yang tadinya hendak menempuh pendidikan tinggi pun menjadi goyah.
Novel yang menggambarkan tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan terutama Serikat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat populer.
Kisah dimulai ketika ayah Hidjo, Raden Potronojo, berencana menyekolahkan Hidjo ke Belanda. Raden Potronojo berharap hal itu bisa mengangkat derajat keluarga, yang berasal dari kalangan pedagang. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususya dimata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah colonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat “pergaulan bebas”.
Ketika bersekolah di Belanda, mata hidjo terbuka melihat kenyataan yang tidak sesuai yang dengan ia bayangkan. Di sana ternyata sama saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang yang menjadi majikan, ada orang yang jonggos, ada yang jahat dan ada pula melihat kenyataan yang tidak sesuai yang dengan ia bayangkan. Di sana ternyata sama saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang yang menjadi majikan, ada orang yang jonggos, ada yang jahat dan ada pula yang baik. Hidjo menikmati sedikit “hiburan” ketika dirinya memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah yang ia tumpangi. Di mana, hal ini mustahil dilakukan di Hindia Belanda.
Hidjo yang kutu buku terkenal punya sikap yang “dingin” dan dapat julukan “pendito”, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje putri sang pemilik rumah yang ia tumpangi selama ia studi di Belanda.
Pertentangan batin karena melakukan aib dan mendapat surat panggilan untuk pulang ke Tanah Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk pulang ke Jawa dan memutus tali cintanya pada Betje.
Persoalan semakin rumit ketika perjodohan dengan Raden Ajeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun Hidjo sesungguhnya terpikat oleh Raden Ajeng Woengoe, putri Regent Djarak yang sangat cantik. Namun di akhir cerita perjodohan berubah Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe sedangkan Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe.
B.     Biografi Mas Marco Kartodikromo (1890-1932)

Mas Marco lahir sekitar tahun 1890 di Cepu, sebuah desa di Jawa Tengah, tempat ayahnya menjabar sebagai kepala desa. Karena bukan berasal dari keluarga bangsawan dan juga anak pejabat pemerintah kolonial Belanda, Mas Marco hanya sebentar mengenyam pendidikan formal dan harus mengambil kursus privat untuk belajar bahasa Belanda, namun menurt teman-temannya, tidak pernah fasih menguasainya. Ia juga tidak dapat berbahasa Inggris maupun Jerman, dan merupakan salah satu dari sedikit tokoh nasional yang berasal dari keluarga orang kebanyakan. Mas Marco adalah seorang otodidak dan oleh karena itu para wartawan serta tokoh politik kenalannya memiliki pengaruh amat besar dalam pembentukkan wataknya, mulai dengan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Tokoh Ini, putra seorang priyayi dan sebaya dengan Mas Marco, mendirikan harian Medan Prijaji di Bandung pada tahun 1907. Namun ia lebih dikenal sebagai pendiri Serekat Dagang Islam cabang Batavia dan Bogor. Tahun 1911, Mas Marco menumpang selama satu tahn di rumah Tirto Adhi Soerjo: tokoh inilah yang mengajarinya profesi wartawan, dan mungkin sekali juga menumpuk kecintaan akan kesusastraan serta memperkenalkan karya-karya Multatuli kepadanya.
Karir Mas Marco selanjutnya adalah karir seorang wartawan yang mengabdi pada suatu haluan politik. Sambil tinggal di Batavia, Semarang, Solo atau Salatiga, yaitu kebanyakan di Jawa Tengah, ia menjadi pembantu atau kepala redaksi di beberapa koran dan majalah. Yang pertama adalah Doenia Bergerak, sebuah mingguan yang didirikan oleh Mas Marco sendiri di Solo tahun 1914 sebagai media resmi dari Inlandsche Journalisten Bond. Badan ini adalah organisasi wartawan Indonesia yang pertama dan tampaknya didirikan atas inisiatif tiga orang tokoh utama: Mas Marco, R. Sosrokoornio, dan Dr. Tjcipto Mangoenkoesomo. Setelah terjadi perselisihan dengan percetakan dari gru Insulinde ( di bandung) mingguan ini bergabung dengan harian Goentoer milik Darnakoesoema dan menjadi mingguan GoentoerBergerak yang terbit di Semarang. Setelah delapan bulan, pecahlah perselisihan baru: Tjipto mangoenkoesoemo mengambil alih kepengurusan Goentoer Bergerak dan mengubahnya menjadi Modjo Pait, secara terbuka Mas Marco menyatakan tidak ikut serta.
Mas Marco Kartodikromo adalah seorang wartawan Jawa yang menulis sekitar sepuluh karya pada dasawarsa kedua abad ke-20. Berasal dari kelarga sederhana, ia memulai karirnya sebagai wartawan pada usia muda, dan sepanjang hidupnya berjuang sebagai anggota Sarekat Islam Merah di Semarang, yaitu fraksi Komunis dari Sarekat Islam, sebuah partai politik yang dalam waktu beberapa tahun saja berhasil menghimpun ratusan ribu kaum muslim di bawah panji nasionalisme. Mas Marco Kartodikromo beberapa kali dipenjarakan dan meninggal dalam pengasingan di Papua.
Karir Mas Marco tidak sampai lima belas tahun lamanya. Ia menulis sejumlah besar artikel dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa yang terbit dalam sekitar sepuluh Koran, sedangkan karya sastranya tidak sampa sepuluh judul, terdiri atas empat novel, satu lakon drama, satu kumpulan puisi dan tiga cerpen yang diterbitkan atas nama aslinya atau kedua nama samara Soemantri dan Synthema.