Minggu, 15 Juli 2018

Psikolinguitik "Hakikat Makna Ujar"


MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik

Dosen Pengampu:
Bram Denafri
Ruang: V.538
Disusun Oleh :

Rofif Syuja’ Mu’tasyim
Melani Pita Dwi
Ikhsan Farid
Dea Lestari

UNIVERSITAS PAMULANG
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2018
Kata Pengantar
                          Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan materi maupun pikirannya.
                          Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
                          Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
                         
Pamulang, 03 Mei 2018











Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
1.1  Latar Belakang...................................................................................................
1.2  Rumusan Masalah..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
2.1    Hakikat Makna Ujar........................................................................................
2.2    Makna Leksikal Dalam Ujaran.......................................................................
2.3    Makna Gramatikal Dalam Ujaran...................................................................
2.4    Makna Kontekstual Dalam Ujaran..................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................
3.1  Simpulan...........................................................................................................
3.2  Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. semantic merupakan salah satu bidang yang mempelajari makna.
Berbahasa  itu adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran. Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna yang dikirim penutur dapat diresepsi oleh pendengar persis seperti yang dimaksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan berjalan dengan baik apabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian  ini bisa disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi ujaran, bisa juga disebabkan oleh faktor pendengar yang kurang mampu meresepsi ujaran itu, atau bisa juga faktor lingkungan sewaktu ujaran itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar.
Jadi, suatu ujaran dapat dipahami dengan baik oleh penutur apabila penutur dapat dapat membuat encode semantic, encode gramatik, dan encode fonologi dengan baik, dan sebaliknya pendengar dapat mendekode fonologi, mendekode gramatika, dan mendekode semantic dari ujaran yang dikirim penutur itu dengan baik juga. Disamping itu lingkungan tempat ujaran itu juga berlangsung secara kondusif.

1.2  Rumusan Masalah
a.      Apakah hakikat makna ujaran?
b.      Apa yang dimaksud dengan makna Leksikal dan bagaimana makna tersebut dalam ujaran?
c.       Apa yang dimaksud dengan makna gramatikal dan bagaimana makna terssebut dalam ujaran?
d.      Apa yang dimaksud makna Kontekstual dan bagaimana makna terebut dalam ujaran?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hakikat Makna Ujaran
Berbicara mengenai makna, telah banyak beberapa pakar Linguistik memberikan definisi makna, berikut beberapa definisi mengenai makna:
1.      Menurut Kridalaksana (2008:148) “Makna adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia.
2.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) “Makna adalah (a) arti, (b) maksud pembicaraan atau penulis, (c) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
3.      Verhaar (1978) “Makna adalah gejala internal bahasa
Jadi, makna adalah gejala- gejala yang tidak hanya terdapat pada internal bahasa, tetapi juga terdapat pada eksternal bahasa.
B.     Makna Leksikal
Makna Leksikal adalah makna sebenarnya makna yang sesuai dengan hasil obsservasi kita, makna apa adanya atau makna yang ada dalam kamus.
Makna Leksikal yakni makna kata berdasarkan kamus. Makna ini terdapat pada kata- kata yang belum mengalami proses perubahan bentuk
Jadi, makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat). Contoh: (rumah: untuk tempat tinggal manusia), (makan: mengunyah sesuatu dan menelan sesuatu), (makanan: segala sesuatu yang boleh dimakan), dan lain sebagainya.
Tahap pertama untuk meresapi sebuah makna suatu ujaran adalah memahami makna leksikal setiap butir leksikal (kata, laksem) yang digunakan dalam ujaran itu. Andaikata kita tidak tahu makna leksikal sebuah kata yang digunakan di dalam suatu ujaran kita bisa melihatnya dalam kamus atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. Namun persoalannya tak semudah itu, sebab ada sejumlah kasus dalam studi semantik yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus- kasus itu adalah:


a.      Kasus Kesinoniman
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Kasus kesinoniman ini bisa menjadi masalah dalam meresepsi makna dalam suatu ujaran, karena seperti kata Verhaar (1978, Chaer, 1990) dua buah kata yang bersinonim maknanya hanya kurang lebih sama, tetapi tidak persis sama.
Contoh: kata “bapak” dengan “ayah”.
“bapak” si Amin baru pulang dari Medan
“selamat pagi bapak Lurah!” seru anak itu.
Pada kalimat (a) kata “bapak” dapat di pertukarkan dengan “ayah”, sedangkan pada kalimat (b) kata “bapak” tidak dapat di pertukarkan dengan “ayah”. Hal ini membuktikan bahwa kata bapak dan ayah yang disebutkan bersinonim atau menyimpan kesamaan makna ternyata tidak selalu dapat di pertukarkan.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama, walaupun perbedaannya hanya sedikit, hal itu terjadi karena beberapa faktor:
-          Faktor Waktu (temporal)
-          Faktor tempat
-          Faktor sosial
-          Faktor bidang kegiatan
-          Faktor nuansa makna (fitur semantik)
b.      Kasus Keantoniman
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan lainnya. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonym itu dapat dibedakan beberapa jenis, antara lain:
-          Antonim yang bersifat mutlak
-          Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi
-          Antonim yang bersifat relasional
-          Antonim yang bersifat heararkinal
-          Antonim ganda


c.       Kasus Kehomoniman
Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya sama; maknanya tentu saja berbeda. Misal (bisa “racun”) dengan (bisa “sanggup”).
Dalam bahasa tulis, ada istilah homograf yang digunakan unttuk menyebutkan kata yang dituliskan sama, lafal beda dan maknanya pun berbeda. Contoh: (a) apel: buah (b) apel: rapat, pertemuan. (a) tahu: makanan (b) tahu: mengetahui (bacanya tau).
Istilah homograf sering disamakan dengan homofon, yakni dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memerhatikan ejaan nya, dengan makna yang berbeda. Contoh: (a) bang: sebutan kakak laki- laki (b) bank: tempat penyimpanan dan pengkreditan uang.
d.      Kasus Kehiponiman dan Kehiperniman
Hiponim adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain, hipernim adalah bagian dari hiponim. contoh: Hiponim buah- buahan, sedangkan hipernim dari buah- buahan misalnya anggur, apel, jeruk, dan lain- lain.
C.     Makna Gramatikal
Makna Gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afikasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Tampaknya makna – makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar.
a.      Fitur Makna
Makna ssetiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur- fitur makna yang membentuk makna keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya. Misalnya: fitur makna (boy).= (manusia, dewasa, lelaki). Salah satu contoh tersebut diambil kessimpulan bahwa dari salah satu kata “boy” memiliki fitur makna manusia, dewasa, laki- laki.
Analisis fitur semantik ini berasal dari kajian Roman Jackobon dan Morris Helle (1953) mengenai bunyi bahasa Inggris, dimanfaatkan oleh Chomsky untuk membedakan ciri- ciri lexical item dalam daftar leksikonnya. Seperti: (boy)= (insan, terhitung, konkret, bernyawa)
b.      Makna Gramatikal Afiksasi
Afiksasi adalah pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Dalam bahaa Indonesia afiksasi merupakan salah satu proses penting dalam pembentukkan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan makna gramatikal yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal jelas makna afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik. Misal pada bentuk kata dasar berfitur semantik “kendaraan” akan melahirkan makna gramatikal “mengendarai, naik, menumpang”.
c.       Makna Gramatikal Reduplikasi
Reduplikasi merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukkan kata. Secara umum makna gramatikal yang dimunculkan adalah menyatakan “pluralis” atau “intensitas”.  Misalnya kata rumah direduplikasi  menjadi rumah- rumah, bermakna gramatikal banyak rumah, dan lain- lain. Namun makna gramatikal reduplikasi ini tampaknya tidak bisa ditafsirkan pada tingkat morfologi saja, melainkan baru bisa ditafsirkan tingkat gramatikal yang lebih tinggi yaitu sintakssis. Misalnya kata “lebar- lebar” pada kalimat tersebut:
(bukalah pintu lebar- lebar!)
(Daunnya sudah lebar- lebar, tetapi belum dipetik)
(Kumpulkan kertas yang lebar- lebar itu disini)
Kata lebar- lebar kalimat pertama bermakna “selebar mungkin”, pada kalimat kedua bermakna “banyak yang lebar”, sedangkan kalimat yang ketiga bermakna “hanya lebar saja”.
d.      Makna Gramatikal Komposisi
Selain proses afiksasi dan proses reduplikasi, banyak juga dilakukan proses komposisi untuk menampung konsep- konsep baru muncul itu, atau yang belum ada kosakata nya. Contoh kata sate yang bermakna leksikal daging yang dipanggang dan diberi bumbu, ada kita dapati gabungan kata sate kambing, sate ayam, sate madura, dan sate padang.
Dari makna gramatikal yang kita lihat dari contoh komposisi dengan kata sate itu, tampak bahwa makna gramatikal yang muncul dan gabungan kata itu, sangat berkaitan dengan fitur semantik yang dimiliki oleh butir leksikal yang digabungkan dengan kata sate itu. Kata atau butir leksikal kambing dan ayam sama- sama memiliki fitur semantik (hewan), (daging), (bahan(makanan)), maka fitur (bahan (makanan)) ini melahirkan makna gramatikal sate kambing dan ayam “bahan”, dan lain- lain.
e.       Kasus Polisemi
Sebuah kata atau ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi, biassanya makna pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah makna yang dikembangkan.
Contoh:
a.       Kepalanya luka kena pecahan kaca
b.      Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor
c.       Kepala kantor itu paman saya.
d.      Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
Makna pertama kata kepala adalah makna denotatif, sedangkan makna- makna berikutnya tidak bisa dipahami tanpa konteks sintaksisnya. Dalam proses pemerolehan semantik mskns polisemi ini dikuasai setelah menguasai makna leksikal. Misalnya: “dulu ketika  di TK seorang anak terheran- heran mendengar bait lagu “naik delman” yang berbunyi “naik delman istimewa ku duduk di muka” di rumah sepulang sekolah dia bertanya pada ibunya “ma, kok muka diduduki sih”. Disini tampak bahwa anak tersebut baru menguasai makna leksikal kata muka, yaitu bagian kepala sebelah depam tempat adanya mulut, hidung, dan mata. Dia belum mengerti makna polisemi bahwa muka juga memiliki makna “depan”.
D.    Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah laksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Contoh: (a) rambut di kepala nenek belum ada yang putih (b) sebagai kepala sekolah dia sudah berwibawa.
Memahami makna leksikal dan gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran atau situasi ujaran.
a.      Konteks Intrakalimat
Makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam kalimat maupun menurut kata- kata lain yang berada di depan maupun belakangnya.
b.      Konteks Antarkalimat
Ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa di pahami maknanya berdasarkan hubungan dengan makna kalimat sebelum atau sesudahnya.
c.       Konteks Situasi
Maksudnya ialah kapan, dimana, dan suasana apa ujaran itu i ucapkan. Contoh: “sudah hampir pukul dua belas”.
 Akan berbeda makna bila diucapkan oleh ibu assrama putri pada malam hari yang ditujukan pada seorang pemuda yang masih bertamu dengan yang diucapkan oleh seorang ustad pondok pesantren pada siang hari pada santrinya.


















BAB III
PENUTUP

1.      Simpulan
Makna adalah gejala internal bahasa, tapi makna itu juga terkait dengan gejala eksternal bahasa. Makna ujaran itu terbagi pula dalam memahaminya, yaitu:
a.       Makna Leksikal, dalam makna leksikal ini dujarkan terdapat kasus yang harus dipahami, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara penutur dengan pendengar, kasus- kasus terssebut adalah kaus kesinoniman, kasus keantoniman, kasus kehomoniman, kasus kehiponiman, dan hiperniman.
b.      Makna Gramatikal, baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afikasi, reduplikasi. Komposisi, atau kalimatisasi
c.       Makna Kontekstual, memahami makna leksikal dan gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dan tempat dari terjadinya ujaran tersebut. Konteks ujaran itu dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran, atau situasi ujaran.
2.      Saran
a.       Diharapkan kepada pembaca, agar maalah ini bisa dijadikan sebagai pedoman dalam mata kuliah Psikolinguistik.
b.      Dengan adanya makalah ini, agar pembaca dapat mempraktikkan makna ini dalam kehiupan sehari- hari, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi baik dari pihak penutur maupun pendengar.






DAFTAR PUSTAKA

http://edu-corner.blogspot.co.id/2011/01/aspek-makna-ujaran.html?m=1
afrizaldaonk.blogspot.co.id/2011/01/aspek-makna-ujaran.html?m=1
Harimukti, Kridalaksana. (2009). Kamus Linguistik (4th ed). Jakarta: Gramedia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar