BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan wahana komunikasi yang sangat penting keberadaanya
di tengah-tengah masyarakat. Tanpak adanya bahasa, maka tidak akan terjadi
interaksi dalam kehidupan. Dalam proses komunkasi harus ada tiga komponen, yaitu
(1) pihak berkomunikasi yakni penerima dan pengirim pesan yang lazim disebut
partisipan, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat komunikasi yang
digunakan dalam komunikasi, (Chaer dan Agustina, 2004: 17). Bahasa sebagai
media komunikasi bersumber dari komunikasi pemakainnya, kemudian dipelihara dan
dikembangkannya.
Di Indonesia, komunitas pemakai bahasa sangatlah banyak dan beraneka ragam
karena teridiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Sehingga dapat
dikatakan bahwa selain mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi, juga mampu menggunakan bahasa ibunya/bahasa kedua dengan baik.
Selain itu, faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh
pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indoensia (Alwi, 2003:3).
Kemampuan menggunakan dua bahasa atau yang disebut blingual dapat
mendorong pemakain bahasa yang berbeda secara bersamaan. Suatu keadaan
berbahasa seperti ini, bilamana orang mencampur bahasa dua atau lebih tanpak
ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu.
Dalam hal demikian, hanya kesantain penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti.
Tindakan bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nabban,1991:32).
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan Konsep Campur Kode
2.
Wujud Campur Kode
3.
Menyebutkan Tipe Campur Kode
4.
Faktor Penyebab Campur Kode
Tujuan Penelitian
1.
Untuk dapat mengetahui konsep campur kode, wujud,
tipe, serta faktor penyebab campur kode
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Campur Kode
Campur kode
merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga
dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan
pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi
tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan
bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam
bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.” Berdasarkan konsep tersebut
dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada
situasi atau konteks tertentu. Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan
pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn
dalam pembicaraan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode
menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa
lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau
memperindah situasi tutur.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur
bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu
tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian
penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut
dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi
berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI
yang telah dikemukakan. Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode,
situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru
kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam
melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur
kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan
berbahasa.
Nababan
(1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian
atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara
santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali
terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini
disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud.
Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register,
tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun
dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer
dan Agustina (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam
suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri
dari klausa dan frase campuran (hyibrid
clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi
menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur
kode.”
Berdasarkan
beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa
campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam
situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata,
frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan
menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara yang digunakan
dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut
terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.
B.
Wujud Campur
Kode
Dalam
berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur
kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa. Contoh
campur kode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar adalah ”Sekarang
kita ulangan bahasa Indonesia, ulangan kita sekarang open book, jadi
kalian boleh melihat buku catatan atau buku paket”. Open book adalah
bahasa Inggris yang artinya sistem ujian yang boleh melihat buku catatan atau
buku paket.
C.
Tipe Campur Kode
Campur kode
diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam
(intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan
campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa
sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara
geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan
bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa
yang terlibat dalam campur kode intern umumnya masih dalam satu wilayah politis
yang berbeda.Contoh campur kode ke dalam (intern) dalam dialog sebagai berikut
:(1)
“Nanti
masnya matur dulu aja ke orangtua,
kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000”.
Kata matur
pada teks (1) adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada
padanannyadalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku didaerah tempat tuturan
terjadi. Kata matur menunjukan
perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam
wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki
hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data
tersebut adalah campur kode intern atau ke dalam.
Dikatakan
campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasasasaran tidak
mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis atau pun secara
politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan
intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian,
hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antarbahasa yang terlibat.Contoh
campur kode ekstern dalam dialog berikut.
“Data-data
yang ada di phone memory kemungkinan
akan hilang seperti nomor-nomor telepon, pesan, kalender dan catatan”.
Kata phone memory dalam teks berasal dari
bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan
bahasa Indonesia, antara kedua bahasatersebut juga tidak ada hubungan genetis
oleh sebab itu maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur
kode keluar atau ekstern
D.
Faktor
Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila
seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu
tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini
biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil,
pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling
melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur
kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar
belakang sikap (atitudinal type) atau
nonkebahasaan dan latar belakang
kebahasaan (linguistic type)
·
Faktor
Nonkebahasaan (atitudinal type)
1.
Need for Synonim maksudnya
adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contohnya
sebagai berikut:
CS :
”Hpnya blackmarket jadi tidak
diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service
selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”
Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh
penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk dalam
kategori hp selundupan.
2.
Social Value,yaitu
penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor
sosial.
Pada kasus
disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa
Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang
berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan
banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.
Falah
: “Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak
tahu berapa banyak nomor-nomor penting di hp saya?”
CS : ”Maaf
Bapak, diawal persetujuan service
kemarin saya sudahkatakan bahwa kehilangan bukan menjadi tanggungjawab kami.Dan
kemarin Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan diformrepairorder” ( sambil menunjukan
bukti tandatangan)
3.
Perkembangan
dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini
turut menjadifaktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab
terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi
yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian
kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli
penutur.
CS : ” Maaf
Bu, memorycardnya dibawa?”
CP :” Kan,
saya tinggal disini kemarin, mbak”.
CS:”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa
semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.
·
Faktor
Kebahasaan (linguistic type)
Latar
belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan
oleh hal-hal berikut ini :
1.
Low frequency of word,yaitu karena
kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil
maknanya.Contohnya adalah pada dialog:
CS
: “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas
supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”
2.
Pernicious Homonimy, maksudnya
adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut
dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Contohnya dalam
dialogberikut:
CS
: “Untuk speakernya
Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah
datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”
3.
Oversight, yaitu
keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur.
Banyaknya
istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan
penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart,
hang,blank
4.
End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau
hasil yang dikehendaki.
End (tujuan) meliputi membujuk,
dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut penutur
harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa contoh
berikut:
CS : “Maaf
Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan dari
tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti
charger baru .”
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Campur kode merupakan situasi
pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan
sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua
bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Dalam berkomunikasi, seringkali
penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat
berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa.
Campur kode diklasifikasikan menjadi
dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode
bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam
(intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai
hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan
antarbahasa ini bersifat vertikal. Campur kode (code mixing) terjadi apabila
seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu
tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini
biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil,
pendidikan, dan kepercayaan.
B. Saran
Saran
penulis dalam makalah ini
adalah agar pembaca senantiasa memperbanyak membaca dan memperdalam lagi untuk
mencari informasi lebih mengenai makalah ini. Karena, penulis menyadari
dalam makalah ini masih banyak kekurangan dari segi penulisan maupun materi.
DAFTAR PUSTAKA
Auzar dan Hermandra. 2007. Sosiolinguistik.
Pekanbaru: Cendikia Insani.
Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamusbesar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chair, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Renika Cipta
Maulidini, Ratna. 2007. Campur kode sebagai strategi komunikasi Customer
service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang ( Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik:
Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Sumber
Internet:
Asnawi, 2011. Campur
Kode. (online).
http://as-nawi.blogspot.com/2011/12/campur-kode.html diakses pada 14 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar